Halaman

Kelompok Penyusun Filsafat Hukum

1. Chris Aryadi (2007200063)
2. Randy Raynaldo (2007200065)
3. Michael linggacahya ( 2007200124 )
4. William Sanjaya (2007200007)
5. Jefta Prawira (2007200202)
6. Disa (2008200164)

Kamis, 30 September 2010

1.      Topik
Ø  Intuisionisme dan Deontologi
2.      Tanggal perkuliahan
Ø  25 September 2010
3.      Rangkuman
A.       Intutionisme
Intuisionisme adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson dan Edmund Husserl.
Ø  Henri Bergson dengan teori Intuisi sebagai Pandangan hidup
Ia menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Obyek-obyek yang kita tangkap itu adalah obyek yang selalu berubah. Jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu obyek bila ia mengkonsentrasikan dirinya pada obyek itu, jadi dalam hal seperti itu manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak juga dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada obyek.
dengan menyadari keterbatasan indera dan akal seperti diterangkan diatas, bergson membuat suatu kemampuan manusia untuk mengasilkan pengetahuan yang utuh yaitu melalui intuisi. Ini adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha. Intuisi ini menangkap obyek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, indera dan akal hanya mampu mengahasilkan pengetahuan yang tidak utuh, sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap.
Ø  Edmund Husserl dengan teori Intuisi Fenomenologis
Edmun Husserl (1859-1938) adalah pendiri aliran fenomenologi, ia telah mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke 20 ini secara amat mendalam. Fenomenologi adalah ilmu (logos) pengetahuan tentang apa yang tampak (phainomenon). Dengan demikian fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomenon. Bagi Husserl fenomena ialah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, realitas itu sendiri yang tampak bagi subjek.

B.                       Deontologi
Teori deontologi sebenarnya sudah ada sejak periode filsafat Yunani Kuno, tetapi baru mulai diberi perhatian setelah diberi penjelasan dan pendasaran logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel Kant.
kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban berarti sudah melakukan kebaikan. Deontologi tidak terpasak pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi melaksanakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Berbeda dengan utilitarisme yang mempertimbangkan hasilnya lalu dilakukan perbuatannya.


4.      Refleksi
Intuisi/Naluri itu sendiri berbeda dengan insting. Insting itu tidak dapat bekembang, sedangkan intuisi dapat dikembangkan melalui pengalaman – pengalaman yang dilaluinya. Intuisi juga tidak diperlukan suatu langkah – langkah terlebih dahulu atau dengan kata lain terprogram. Jika kita melihat hal ini, memang benar bahwa adakalnya kita tidak memahami suatu objek secara utuh karena keadaan objek yang selalu berubah. Berangkat dari hal itulah intuisi digunakan untuk memberikan pengetahuan secara utuh menyeluruh.
Aliran Intutionisme Fenomenologi yang dikemukakan oleh Edmund Husserl mempelajari tentang sesuatu yang tampak (nyata) lalu dicarilah hakikat mengenai sesuatu tersebut.
Dalam etika deontology yang dilihat adalah perbuatan nya bukan akibatnya. Misalnya menghina adalah perbuatan yang buruk tanpa kita harus menunggu akibatnya terlebih dahulu. Dalam etika deontology ini kita melakukan sesuatu sebagai kewajiban moral atau keharusan, jadi segala sesuatu harus dilakukan dengan kesadarn sendiri

5.      Diskusi
·         Apa kriteria kewajiban menurut deontologis?
·         Jika seseorang dieksekusi karena telah melakukan pembunuhan, apakah tetap dianggap sesuatu yang buruk menurut deontologist?
·         Adakah relasi mengenai hal yang esensial antara Intuisi dan fenomenologi?

Jumat, 24 September 2010

EPISTIMOLOGI RASIONALISME


Rasionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan satu-satunya yang benar adalah dari rasio (akal atau budi). Tokoh yang terpenting aliran rasionalisme adalah Rene Descartes. Rene Descartes (1596-1650) dijuluki Bapak Rasionalisme Modern. Penganut aliran ini dinamakan Cartesian. Ucapannya yang dikenal adalah “Cogito Ergo Sum” yang artinya ”Aku berfikir maka aku ada”. Menurutnya Rasio adalah indicator kebenaran yang Universal (logika), bahkan indicator baik-buruk secara moralitas (etika). Menurutnya ada atau tidak ada itu tergantung dari rasio. Ungkapan ini mempunyai makna lebih dari sekedar pengertian harafiah. Dengan ungkapan itu hendak dinyatakan metode yang dianut Descartes adalah metode kesangsian. Descartes mengatakan bahwa segalanya harus disangsikan secara radikal, dan tidak boleh diterima begitu saja. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap kesangsian (artinya tidak disangsikan lagi), itulah kebenaran yang sesungguhnya dan harus menjadi fundamen  bagi ilmu pengetahuan. Pemikiran aliran ini berangkat dari intuisi (sesuatu yang tak terbantahkan) dan cara berpikirnya Deduktif. Cara berpikirnya juga Apriori artinya mendahului kenyataan atau seperti prediksi. Menganut kebenaran koherensi.
Itulah sebabnya Cogito Ergo Sum harus diartikan sebagai : saya yang sedang sangsi, ada. Bagi Descartes, berpikir berarti menyadari. Jika saya menyangsikan maka saya menyadari sungguh-sungguh bahwa saya menyangsikan. Kebenaran itu pasti sebab saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly).
Menurut Descartes, dalam diri manusia terdapat tiga ide bawaan sejak lahir, dan itulah yang merupakan kebenaran. Ketiga ide bawaan itu adalah pikiran, Allah dan keluasan.

EPISTEMOLOGI IDEALISME


1.      PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1.      Hakikat itu ada dan nyata;
2.      Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.      Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4.      Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.  

Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
 Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia
2.      PENGERTIAN IDEALISME
Idealisme adalah suatu konsep yang diyakini oleh seseorang, yang mengatakan bahwa segala sesuatunya harus berjalan dengan ideal. Ideal di sini subjektif dipandang dari sisi orang yang bersangkutan. Baik, karena nilai Ideal di sini didasarkan pada subjektifitas maka Idealisme bisa dibedakan menjadi dua: yakni Idealisme Positif serta Idealisme Negatif. Meski begitu, pada umumnya yang dimaksudkan dengan Idealisme adalah Idealisme Positif.
            Perkembangan Idealisme
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme. Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropah.
Tokoh-Tokoh
1.Plato (477 -347 Sb.M)
2.B. Spinoza (1632 -1677)
3.Liebniz (1685 -1753)
4.Berkeley (1685 -1753)
5.Immanuel Kant (1724 -1881)
6.J. Fichte (1762 -1814)
7.F. Schelling (1755 -1854)
8.G. Hegel (1770 -1831)

REFLEKSI
            Jadi dapat kita simpulkan, bahwa epistemologi dan idealisme memang berhubungan. Saling keterkaitan epistemologi dan idealisme dapat disimpulkan bahwa epistemologi idealisme adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia yang berjalan dengan ideal.

ALIRAN MATERIALISME DAN FILSAFAT MERUPAKAN ILMU METAFISIKA

1.      MATERIALISME
Materialisme adalah satu aliran filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari materi. Materialisme memandang bahwa materi itu adalah primer, sedangkan ide ditempatkan sebagai sekundernya. Sebab materi itu timbul atau ada lebih dulu, kemudian baru ide.
Pandangannya itu berdasarkan atas kenyataan menurut proses waktu dan zat. Artinya,, Menurut proses waktu: Lama sebelum manusia yang bisa mempunyai ide itu ada atau lahir di dunia, dunia dan alam atau materi ini sudah ada lebih dahulu, Menurut proses zat: Manusia ini tidak bisa berpikir atau tidak bisa mempunyai ide tanpa ada atau tanpa mempunyai otak. Dan otak itu adalah suatu materi. Otak itu adalah materi, tapi materi atau benda yang berpikir. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada, baru kemudian bisa timbul ide atau pikiran pada kepala manusia.
Materialisme mempunyai banyak macam aliran. Dari banyak macam aliran materialisme itu terdapat tiga aliran yang besar dan pokok, yaitu materialisme mekanik, materialisme metafisik dan materialisme dialektik. Ketiga asliran filsafat itu mempunyai perbedaan-perbedaan antara yang satu dengan yang lain, dan bahkan juga terdapat saling pertentangannya.
·         Materialisme mekanik adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya materialis, sedangkan metodenya mekanis. Ajaran materialisme mekanik ialah bahwa materi itu selalu dalam keadaan gerak atau berubah. Geraknya itu adalah gerak yang mekanis, artinya gerak yang yang tetap begitu saja selamanya seperti yang telah terjadi, atau gerak yang berulang-ulang seperti geraknya mesin yang tanpa perkembangan atau peningkatan.

·         Materialisme metafisik adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya materialis, sedangkan metodenya metafisis. Ajaran materialisme metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan diam, tetap, tidak berubah selamanya. Tapi seandainya materi itu berubah, maka perubahan itu terjadi karena faktor luar atau karena kekuatan dari luar. Gerak materi itu gerak ekstern atau disebut gerak luar. Selanjutnya materi itu dalam keadaan yang terpisah-pisah, tidak mempunyai dan tidak ada saling hubungan antara yang satu dengan yang lain.

·         Materialisme dialektik adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya materialis, sedangkan metodenya dialektis. Ajaran materialisme dialektik mengajarkan bahwa materi itu selalu saling punya hubungan, saling mempengaruhi, dan saling bergantung antara yang satu dengan yang lain. Bukannya saling terpisah-pisah atau berdiri sendiri. Materi itu juga selalu dalam keadaan gerak, berubah dan berkembang. Bukannya selalu diam, tetap atau tidak berubah. Dalam makalah ini akan menyajikan filsafat matesia lisme dialektika historis yang dikemukakan oleh karl Mark
Tokoh-tokohnya.
1. Anaximenes ( 585 -528)
2. Anaximandros ( 610 -545 SM)
3. Thales ( 625 -545 SM)
4. Demokritos (kl.460 -545 SM)
5. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
6. Lamettrie (1709 -1715)
7. Feuerbach (1804 -1877)
8. H. Spencer (1820 -1903)
9. Karl Marx (1818 -1883)



2.      METAFISIKA SEBAGAI CABANG ILMU FILSAFAT
Dalam pertemuan ini pun dijelaskan bahwa ada beberapa cabang dalam ilmu filsafat antara lain adalah metafisika, dimana cabang filsafat metafisika dipandang sebagai ilmu yang menentang arus, dalam arti cara kerjanya lumayan berbeda dari cara kerja ilmu pengetahuan lainnya. Filasafat terkadang membuat orang berkerut kening dan bahkan muak lantaran istilah yang aneh-aneh dan untuk memahaminya diperlukan ketekunan filosofis yang memakan waktu tidak cukup berjam-jam, tetapi bertahun-tahun.
Kendati demikian, dengan filsafat (metafisika) orang dapat menunjukkan bahwa manusia tidak hanya sekedar makhluk yang bisa makan, menikmati keenakan dunia dan alam semesta. Filsafat bertugas tidak lain menggemakan kenyataan. Manusia, dengan berfilsafat, menggemakan lagi nada metafisik kenyataan yang sudah pudar oleh hingar-bingarnya perjuangan memenuhi kebutuhan fisik belaka. Filsafat terus dan tak bosan-bosannya menggemakan suara kebenaran dan kebaikan, yang hampir sirna oleh pertarungan kepentingan sesaat dan usaha manipulasi yang sering tak terkendali.
Sebagai manusia yang, dari kodratnya, berakalbudi, kita semua berkemampuan filosofis. Dengan akalnya, manusia mencari rumusan baru tentang kenyataan fisik dan metafisik. Dalam perumusan sudah tersirat tanda bahwa manusia tidak terikat oleh apa yang kini dipegangnya, karena perumusan merupakan kegiatan abstraksi dari kenyataan. Abstraksi, pada giliranya, merupakan petunjuk adanya kemampuan transedental dalam diri manusia. Ia mau menempatkan seluruh kekiniannya itu dalam konteks yang lebih luas dan mendasar: prinsip hidup. Filsafat, dalam kedudukanya sebagai salah satu ilmu, bertugas mengeksplisitkan prinsip hidup yang sedikit banyak masih implisit adanya dalam diri setiap orang. Filsafat ingin mengangkat ke permukaan kebijaksanaan hidup yang lebih sering didominir oleh keputusan kepentingan tertentu.
Filsafat (metafisika) tidak pernah berangkat dari dunia awang-awang atau khayalan. Titik tolaknya selalu pengalaman nyata inderawi. Pengalaman itu disistematisir. Kemudian berdasarkan pengalaman itu, dibangun refleksi yang spesifik. Kalau tidak berdasarkan pengalaman, refleksi akan mengambang tanpa makna dan isi, sehingga sia-sia. filsafat mengangkat engalaman hidup untuk mencari prinsip-prinsip dasar.
Metafisika berangkat dari yang kita alami sampai kepada prinsip-prinsip dasar. Dengan demikian diharapkan bahwa kita sampai pada Sang Illahi yang disebut Allah oleh orang yang beragama. Selain itu, dengan menyadari keterbatasan daya pikir manusia, metafisika mengajarkan kepada kita kebijaksanaan hidup. Hidup perlu ditangkap dalam keseluruhannya, tetapi tidak berarti kita memahami kehidupan itu secara tuntas.
Dari segi bahasa, bahasa metafisika bersifat integratif dan indikatif. Dengan metafisika kita berusaha menyatakan semua pengalaman kita dengan mengangkat dasarnya yang paling dalam. Tetapi sekaligus, bahasa metafisika tetap terbatas, hanya menunjuk pada keseluruhan dan pada yang paling dasar dari pengalaman langsung.
Pengalaman langsung tetap kaya dan dalam. Ilmu, filsafat, termasuk metafisika, dan teologi, mengabdi pada kehidupan yang kita alami secara langsung. Metafisika tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri, tetapi sebagai salah satu jalan memperkaya kehidupan dengan jalan merefleksikan dan mengangkatnya ke permukaan.
REFLEKSI:
            Aliran Materialisme mengajarkan bahwa inti segala sesuatu adalah materi atau dengan kata lain haruslah berwujud dan tidak boleh mengawang-awang. Dalam ilmu hukum pandangan ini lah yang melahirkan adanya asas legalitas dimana “Seseorang tidak dapat dipidana bila tidak ada hukum yang mengaturnya” dengan kata lain aliran ini cikal bakal munculnya asas Legalitas yang bertujuan menjujung kepastian hukum. Karna bisa kita bayangkan dalam sejarah sebelum adanya asas legalitas ini dimana kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Hubungan aliran/pemikiran ini adalah dalam menghukum seseorang haruslah terlebih dahulu diatur hukumnya (berupa materi) tidak dapat megawang-awang karna akan menimbulkan kesewenang-wenangan dari penguasa dan tidak adanya kepastian hukum.

Ada beberapa cabang dalam filsafat yang salah satunya adalah METAFISIKA. Cabang ini memiliki definisi studi tentang sifat yang terdalam dari kenyataan / keberadaan. Persoalan-persoalan metafisis dibedakan menjadi tiga yaitu persoalan ontologism, persoalan kosmologis, dan persoalan antropologis. Adapun pendapat lain yang menyebutkan Metafisika : merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat yang tersimpul dibelakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman denagn objek yang non-empiris.
Tafsiran dalam Metafisika:
* Animisme :Dalam dunia ini terdapat wujud-wujud gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dubandingkan alam yang nyata.
* Materialisme :Apa yang ada di dunia ini yang dapat kita pelajari.
* Mekanistik :Melihat gejala alam, temasuk manusia yang merupaka gejala mkimi-fisika semata.
* Vitalistik :Hidup adalah sesuatu yang unik dan berbeda secara subtansi dengan proses di atas.
* Monistik :Proses berfikir sebagai aktivitas elektro-kimia dari otak
* Dualistic :Membedakan antara zat dan kesadaran yang bagi mereka  berbeda secara generic, secara subtansif.